RASIONAL.CO.ID, Bogor – Adanya aksi demonstrasi di depan gedung DPR-RI yang menuntut perpanjangan masa jabatan Kepala Desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun terus menuai polemik.
Tuntutan perpanjangan masa jabatan ini disuarakan secara lantang oleh para Kepala Desa lantaran mereka menganggap jabatan 6 tahun tidaklah cukup untuk membangun desa.
Para Kepala Desa meminta pelaksanaan Pilkades 2024 ditunda agar tidak menggangu jalannya Pemilu.
Pengamat hukum tata negara Geri Permana mengatakan, untuk merevisi suatu undang-undang harus mengetahui tujuan dari politik hukumnya itu terlebih dahulu.
“Dalam menyikapi adanya usulan perpanjangan masa jabatan Kepala Desa tersebut sebenarnya yang perlu kita analisis ada dua hal. Pertama dari segi masa jabatan 9 tahun yang sudah tidak sejalan dengan jabatan lainnya menurut Konstitusi bahkan bisa dikatakan telah terjadi penyimpangan terhadap prinsip pembatasan kekuasaan”, ujar Geri.
Geri menambahkan, pasal 39 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa pada pokoknya telah mengatur mengenai masa jabatan Kepala Desa dalam satu periodenya 6 tahun, dan bisa menjabat sampai 3 periode jika kemudian terpilih kembali dalam kontestasi baik secara berturut-turut ataupun tidak berturut-turut.
Kalau kita perhatikan seksama jabatan lainnya seperti Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota saja masa jabatannya dibatasi selama 5 tahun dalam 1 periodenya, dan hanya bisa menjabat sebanyak 2 kali.
“Di sini saya mau bilang bahwa idenya adalah soal pembatasan kekuasaan. Karena kekuasaan apapun dari atas sampai bawah itu tidak boleh terlalu lama mengingat potensi untuk melakukan penyelewengan atau penyalahgunaan itu justru malah semakin besar jika kekuasaan itu diberikan semakin lama,” ucap Geri.
Adapun saat ini, para kepala desa menjabat selama 6 tahun dengan kesempatan 3 periode dirasakan Geri sudah cukup.
“Kalau kita merujuk pada data Indonesian Coruption Watch (ICW) dari tahun 2015 hingga 2020 setidaknya terdapat 676 Kepala Desa yang terseret kasus korupsi,” Kata Geri.
Geri pun menepis adanya alasan bahwa masa jabatan 6 tahun tidaklah cukup untuk membangun desa.
“Saya kira ini bukanlah soal berapa lama masa jabatan, tetapi justru seharusnya bagaimana Kepala Desa itu sendiri memanfaatkan masa jabatannya untuk membangun tata kelola desa yang baik terlebih kita sudah sama-sama tahu bahwa kucuran dana desa dari Pemerintah Pusat saja itu sudah cukup fantastis,” ucapnya.
Hal itu belum termasuk dengan bantuan tambahan dari Pemerintah Provinsi dan Kabupaten.
“Bicara mengenai keberhasilan suatu pembangunan desa itu ditentukan dengan bagaimana Kepala Desa memanfaatkan masa jabatan yang sudah ada sekarang ini dengan baik dan maksimal, jangan sampai misalnya malah punya paradigma bagaimana caranya harus balik modal pasca pencalonan,” ucap Geri.
Geri pun menambahkan dalam pendekatan ilmu hukum tata negara pembatasan kekuasaan tentu sudah menjadi suatu keharusan guna mencegah potensi absolutisme atau abuse of power dari sang pejabat termasuk Kepala Desa.
“Adanya manuver perihal usulan perpanjangan masa jabatan Kepala Desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun yang disampaikan jelang tahun politik seperti sekarang ini dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh para elite untuk kepentingan kontestasi politik 2024 mendatang. Mau bagaimana pun, politik kerapkali ditandai dengan kasak-kusuk elite untuk mencari kekuasaan belaka”. Kata Geri.