RASIONAL.CO.ID, Jakarta – Sanggar Senja merupakan Yayasan yang dirintis sejak 29 Juli 2011. Pendiri yayasan, Adi Supriyadi menuturkan, Yayasan Secerah Anak Negeri Jaya (Senja) ini menjadi wadah bagi anak-anak jalanan, terlantar, dan kaum marjinal untuk menjemput pendidikan.
Identitas kerap kali menjadi masalah yang fundamental ketika masuk sekolah. Tidak ada Kartu Keluarga dan akte kelahiran dapat menyulitkan pendaftaran. Di samping itu, masih banyak sekolah yang menolak anak jalanan karena berbagai stigma.
Bagi anak mereka, masalah administratif dan stigma tersebut menjadi hambatan untuk dapat mengenyam pendidikan dengan layak, lebih-lebih memenuhi wajib belajar 12 tahun.
“Karena mereka rentan dengan pendidikan, tidak seperti anak-anak yang memiliki keluarga pada umumnya, punya KK, identitas, KTP, NIK dan kartu kelahiran,” ujar Adi dalam rangkaian kegiatan Fellowship Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan dan Paragon Innovation and Technology, Minggu (12/12/2021).
Sekolah Swasta
Adi menyebutkan, per 2018, Sanggar Senja sudah membebaskan akte kelahiran 120 anak jalanan. Sebagian mengatasnamakan anak ibu, sebagian lagi anak Negara.
Sebanyak 50 anak Sanggar Senja mengenyam pendidikan formal di sekolah. Sementara itu, anak-anak putus sekolah melanjutkan pendidikan paket A, B, dan C. Adi mengaku, memang tidak mudah bagi anak-anak untuk bisa mengenyam pendidikan formal di sekolah.
Syarat administratif seperti NIK untuk terdaftar di Data Pokok Kependidikan (Dapodik), kata Adi, lebih sulit terpenuhi ketimbang mengurus pendidikan anak yatim. Ketiadaan database anak, sambungnya, disiasati Sanggar Senja dengan mendaftarkan anak-anak ke sekolah swasta.
Membangun Identitas
Adi mengaku, anak-anak jalanan sering ditolak masuk sekolah karena berbagai stigma yang muncul dari identitas dan usia.
“Wajib belajar 12 tahun, tapi anak sering ditolak masuk sekolah karena banyak alasan: ketuaan, dan membuat profil sekolah kurang bagus,” ungkap Adi.
Identitas anak, dibangun di Sanggar Senja. Selepas belajar, anak-anak Sanggar bisa belajar bermusik di studio, pencak silat, dan pengajian bagi yang muslim.
“Jadi kita ajarkan akhlak, moral, kasih sayang, NKRI, bahwa kita di Indonesia. Kita tanamkan nilai perjuangan, nasionalisme, Allah. Jadi mereka harus punya toleransi pada semua agama, karena kita bukan negara satu agama. Kita berbeda-beda bangsa, suku, budaya, bhinneka tunggal ika,” jelas Adi.
Anak-Anak Senja
Adi mengatakan, beberapa anak anak di antaranya menjadi korban perdagangan anak dan terlantar. Ada juga mengalami kekerasan dan dipaksa menjadi pengemis.
Dari sekitar 130 anak yang dibina, 22 di antaranya tinggal di Panti Asuhan Sanggar Senja.
“Ada juga yang kabur-kaburan. Yang tinggal itu yang mau mengikuti kegiatan salat, mengaji, dan aktivitas lain. Insyaallah kita bayarin. Kalau yang di luar (tidak di panti), belajar saja. Kalau mereka mau kemari dan belajar, alhamdulillah,” tuturnya.
Adi menuturkan, dirinya semula membiayai Sanggar Senja dari penghasilan sebagai musisi dan pemilik studio musik. Hasil manggung, sewa studio, sewa sound system, jasa bikin lagu, lipsync, dan pembuatan jingle, sambungnya, bisa bantu menambah dana untuk Sanggar. Di panggung, tidak jarang ia juga memperkenalkan sanggarnya.
“Ketika saya nyanyi di panggung saya perkenalkan sanggar saya. Alhamdulillah mereka datang kasih beras dan baju bekas,” tuturnya.
Untuk mendidik dan mengasuh anak-anak, Adi juga berkolaborasi dengan berbagai relawan dan kontributor. Relawan dari Bogor, salah satunya, menjadi tutor dan mengajar anak-anak selepas sekolah bersama Adi.
Sementara itu, kerjasama dengan Paragon Innovation and Technology, sambungnya, memungkinkan panti yang semula mengontrak kini punya tempat sendiri.
“Saya butuh dukungan untuk mengurangi populasi anak jalanan, supaya mereka tidak dekat dengan kriminal di jalan: Insyaallah kalau mereka punya ilmu, dan kita dampingi dengan benar,” ucapnya.
Suci Hendrina, Head of CSR and Corporate Communication Paragon Innovation and Technology menuturkan, ia semula mendapat informasi tentang Sanggar Senja dari karyawan Paragon yang mengenal kiprah sanggar ini.
“Kita sangat senang sekali, banyak juga adik-adik yang sudah hafal dengan kakak-kakak Paragonian (karyawan Paragon). Dan mudah-mudahan interaksi itu bisa membangun semacam motivasi bahwa adik-adik bisa seperti kakak-kakak,” kata Suci.
Sumber : Detik
Discussion about this post