RASIONAL.CO.ID, Jakarta – Kepergian KH Ali Yafie menyimpan duka mendalam bagi Indonesia, khususnya segenap umat yang merindukan petuah-petuahnya.
Di antara yang turut berduka dan merindukan sosok KH Ali Yafie, yakni Abdul Rauf yang merupakan Ketua Umum KAPTEN (Komunitas Penyedia Tenaga Kerja Internasional) Indonesia.
Dalam kerinduannya tersebut kemudian lahir tulisan Abdul Rauf terhadap sosok KH Ali Yafie yang termuat dalam artikel ini.
“Sang Maha Guru Panutan Asli Timur Indonesia”
Andre Gurutta, sapaan familiar Kiai pondok di timur Indonesia, sosok sederhana, terkenal romantis kepada keluarganya, meski itu adalah bagian menghargai Sang pujaan hatinya “Nyai Aisyah”.
Lebih banyak diam alias hemat bicara di setiap momen pertemuan, menjawab sesuai porsinya, kau diam dia menanti awal cerita, engkau bertanya pasti memberi kejutan jawaban yang berbeda dari biasanya,.
Besar di timur Indonesia, sukses menaklukkan Jakarta, saat riak kehidupan Zaman Orde Baru masih berkuasa, Sang Kiai Alie Yafie berhasil tampil sebagai ulama kharismatik, teguh pendirian, hingga bersuara lantang ketika semua orang tidak sepakat sekalipun, misal keberanian Gurutta menyampaikan aspirasi umat soal mundurnya Soeharto dari kursi kekuasaannya saat itu.
Kiai Ali Yafie, dengan gegap gempita menyuarakan kebenaran, memiliki prinsip heroik yang tangguh, gemar mengundurkan diri dari jabatan meski itu dianggap bagi orang lain merupakan sebuah hal yang sangat disayangkan.
Sebut saja ketika menjabat Rais ‘Aam di PBNU pada tahun 90-an, itulah prinsip hidupnya, merdeka dalam bertindak, karakteristik kesaktiannya sangat kental, daya nalarnya unik dan terkontrol, ahli Ushul Fiqih, memiliki banyak karya monumental dan segar dibaca sepanjang masa, dirindukan banyak khalayak, dan akrab dengan anak-anaknya, memberi solusi cukup sederhana tapi sungguh masuk akal.
Juli Tahun 96, di Bintaro kediaman Sang Kiai Ali Yafie kutemui bersama sahabat bernama Arifuddin Arif, sekarang Dosen Tarbiyah di UIN Palu Sulawesi Tengah,
Pagi hari sejuk bersahaja dalam penampilan Ulama yang ketika itu sedang menjabat Ketua MUI, mendengar namanya cukup lama, kali pertama berjumpa, ketika itu ekspektasi tentang Ayahanda Prof Ali Yafie sangat mengagumkan, memberi wejangan simple tapi fundamental, didampingi sang Istri tercinta meski tidak lama, cukup dia kenalkan lalu Nyai Aisyah bergeser ke dapur layaknya Hadijah masa kini, kagum sungguh membius pemandangan sosok keluarga Ayahanda Prof Ali Yafie, salah satu pesannya yang masih terngiang hingga sekarang adalah, “Jadilah aktivis kampus yang teladan kepada adik-adiknya, akhlak santri yang mulia jauh lebih baik dari pada ilmuan terkenal kaliber dunia tapi sikapnya kurang”, demikianlah pesannya.
Kakanda Helmi Ali Yafie, hampir dipastikan meng-copy paste performa ayahanda Kiai Ali Yafie, sebagai anak sulung dari 4 generasi yang terdiri dari 3 laki-laki dan seorang perempuan.
Adapun secara berututan anak dari KH Ali Yafie yaitu kakanda Helmi Ali, Saifuddin Ali, Azmi Ali dan Badrudtamam Ali.
Anak sulung KH Ali Yafie merupakan aktivis kampus dan pelaku NGO yang cukup disegani, ketika mengurai satu persoalan, sangat menginspirasi, dan salah satu mentor LAKPESDAM (Lembaga Kajian dan Sumber Daya Manusia ) Nahdlatul Ulama.
Tepat semalam hari kedua takziah ayahanda KH Ali Yafie, memandang gaya obrolan kakanda Helmi Ali, rasanya masih menyaksikan sosok Sang ayahanda Kiai Ali Yafie atau akrab disapa Puang Ali di internal keluarga, kami semua yang hadir terpaku mendengar reoriented Sang Kiai Ali dalam kesehariannya di tengah keluarga, ditemani dengan setia, Alumni Darudda’wah Wal Irsyad (DDI) Dr. H Arahan Basit, Nurhasan, S.Hi, Dr. Syahrullah, Drs. Kiai Muhsin al-Polmasy dan senior yunior lainnya.
Selamat jalan Ayahanda Prof KH Ali Yafie, tenanglah di persinggahan sementaranya, “Antal Muqaddimun, Nahnul Muakhirun”, Kepergian mu lebih awal, hanya soal waktu saja, kami semua pasti menyusulmu.
Demikian pandangan Abdul Rauf terhadap KH Ali Yafie, semoga ada hikmah yang bisa dipetik dan diteladani. (*)