RASIONAL.CO.ID, Cairo –Saat ini masyarakat dunia telah memasuki era disrupsi dengan ditandai kecanggihan teknologi yang merambah ke semua sektor kehidupan mulai dari ekonomi, pendidikan, agama, budaya, kesehatan, dan masih banyak lagi lini kehidupan yang sudah ketergantungan dengan teknologi, revolusi teknologi dewasa ini memberikan layanan yang lebih efesien, praktis, inovatif, dan serba instan.
Dan pengaruh kecanggihan teknologi ini juga mempengaruhi keberagamaan umat muslim di Indonesia, dengan di tandai munculnya berbagai macam sosial media yang meramaikan jagat raya dunia maya menjadi sarana dakwah dan penyebaran nilai – nilai islam yang efektif dan praktif.
Hal ini memang menguntungkan umat muslim, karena semua umat muslim bisa mengakses ilmu, nilai – nilai islam dengan mudah tanpa ada sekat jarak dan waktu, hanya dengan modal paket internet semua bisa di akses dengan mudah.
Namun di sisi lain, ternyata kemudahan ini justru melahirkan masalah baru yaitu menjamurnya dai-dai sosmed yang mendakwahkan nilai-nilai Islam namun tidak memenuhi standaritas menjadi dai yang ideal, bahkan ironisnya di antara mereka yang mendakwakan dirinya sebagai ustad, namun sama sekali belum pernah mengenyam pendidikan keagamaan dengan segala cabang keilmuan Islam seperti tafsir, fiqih, akidah, hadis, bahasa arab dan masih banyak lagi disiplin keilmuan lainnya dalam syariat islam secara intesnisf dan komprehensif.
Sebagian yang lain muncul dai-dai yang sudah melalui fase belajar agama namun memiliki haluan pemahaman yang cenderung konservatif dan radikal, salah satu sebab yang melatar belakanginya karena pemahaman mereka terhadap teks al – quran dan hadis yang tekstual dan leterik, bukan dengan pemahaman yang komprehensif yang merujuk kepada pemahaman para ulama-ulama terdahulu.
Dan pihak ketiga yang juga menjadi masalah dan benalu di tengah umat islam, munculnya dai yang mempolitisasi makna dakwah itu sendiri menjadi di`ayah, yaitu dakwah yang seharusnya memberikan presuasi dan motivasi bergeser menjadi propaganda dengan menekankan kepetingan tertentu dari dakwah itu sendiri, penuh luapan emosi dan amarah, mempolitisasi teks agama untuk kepentingan pribadi dan kelompok, dan ini semua jauh dari definisi dakwah yang sebenarnya.
Tiga fenomena dai di atas tentu tidak memenuhi standaritas menjadi dai yang progresif, pertama; tidak memenuhi kualifikasi keilmuan yang mumpuni, kedua; pemahaman terhadap teks agama yang tidak sejalan dengan pemahaman mayoritas jumhur ulama, selanjutnya dakwah yang di manfaatkan untuk kepetingan pribadi.
Problematika fenomena menjamurnya dai- dai yang tidak memenuhi standaritas dai yang ideal dan kontra – produktif harus menjadi perhatian serius bagi seluruh umat islam, karena hadirnya dai di tengah umat yang seharusnya menjadi penerang umat, pemersatu umat, memberikan tauladan yang luhur, mengajarkan islam yang penuh kedaiaman dengan syariatnya, kini malah di kotori dengan munculnya dai-dai yang justru memecah belah umat, mencerminkan islam yang jauh dari nilai –nilai rahmat, menebar kebencian.
Jika di amati bersama, munculnya dai yang demikian, mulai dari fenomena artis hijrah mendadak menjadi ustad, dai ekstremis dan radikal, dai yang mempolitisasi makna dakwah sebenarnya, hingga dai yang sudah terkontaminasi pemikiran liberal, kesemuanya karena kedangkalan terhadap ilmu syariat yang memiliki ruh di dalamnya antara akhlak, akidah yang benar, dan ajaran fiqih yang bermadhab dari salah satu empat madhab yang autentik.
Ilmulah yang menjadi pondasi utama menangkal segala bentuk penyelewengan dalam mendakwahkan agama Allah agar tidak keluar dari koridor makna dakwah yang sebenarnya, oleh karena itu hadirnya satu lembaga keagamaan non formal yang kita kenal dengan pesantren ini, hingga hari ini masih terpercaya sebagai basis pengkaderan ulama-ulama yang memiliki wawasan keislaman secara komprehensif dan memiliki akhlak yang luhur, serta akidah yang lurus.
Pesantren yang di dalamnya ada kiai sebagai pimpinan pesantren dan para ustad yang memiliki legalitas untuk mengajarkan berbagai macam cabang disiplin keilmuan dalam syariat Islam, serta kurikulum yang kental dengan pengajaran kitab-kitab klasik atau yang di kenal dengan kitab kuning, sebagai acuan utama dalam memahami syariat Islam.
Dan yang menjadi kekuatan dan keauntentikan keilmuan di pesantren memiliki ketersambungan sanad yang kuat dan jelas, sebagai ruh di dalam memahami syariat islam hingga tersambung kepada baginda Rasulallah, kedudukan sanad di dalam kaca mata islam berfungsi tali pengikat dari generasi ke generasi di dalam memahami syariat islam agar syariat islam tersebut dengan segala ajarannya tidak bisa di selewengkan dari koridor pemahaman yang benar.
Dan pesantren juga telah memenuhi segala syarat mutlak dalam membentuk lingkungan untuk pencapaian dalam memahai syariat islam sesuai aturannya, yaitu merujuk kepada ulama – ulama Al – Azhar, sebagaimana yang di tuliskan Syekh Musthofa Al-Azhary dalam kitabnya yang berjudul at – thuruq al –manhajiyah yang menukil perkataan Syekh Usamah Al-Azhary.
Bahawasanya dalam memahami Syariat islam harus memenuhi lima rukun, yaitu adanya mua`alim ( pengajar), thalib (murid), bi`ah ( lingkungan), kitab, dan terakhir manhaj atau proses belajar yang berjenjang dan melalui fase belajar yang lama hingga mendapat legitimasi dari mu`alim untuk mengajar.
Pesantren di Indonesia pada umumnya sejak awal mula kemuculannya yang sudah berusia tidak kurang dari tiga ratus tahun, terlepas dari berbagai macam pendapat kapan tepatnya awal mula pesantren muncul di Indonesia namun eksistensi pesantren sudah melewati fase sejauh itu.

Pesantren telah menerapkan lima rukun tadi, dan lima rukun tadi tidak bisa di terapkan kecuali di lingkungan pesantren yang secara maksimal telah terbukti memenuhi semua rukun yang ada. Agama islam yang memiliki keluasan ajaran dan kesakralan di dalam setiap nafas syariatnya tidak bisa dengan durasi waktu, cara yang singkat dan mudah dalam memahaminya, butuh pengorbanan waktu, harta, usia, konsentrasi penuh, keseriusan, kecerdasan, guru yang menguasai syariat dengan benar, lingkungan yang mendukung untuk dekat dengan ilmu.
Benar perkataan Imam Syafi`i dalam syairnya, bahwa seorang pencari ilmu tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam perkara, yaitu kecerdasan, rakus dengan ilmu, sabar, harta, waktu yang lama, dan memiliki guru atau ulama yang mengajarkan ilmu kepadanya.
Maka dari sini tidak heran dari pesantren lahir ulama besar sekelas Kiai Hasyim Asy`ari yang pernah menjadi santri di pesantren yang di dirikan oleh maha guru ulama nusantara, yaitu Syekh Khalil Bangkalan, keduanya sama – sama produk pesantren dan menjadi ulama hebat di Nusantara. Kiai Hasyim Asy`ari yang dengan keilmuannya mampu mendirikan organisasi Nahdhatul Ulama, dari organisasi ini juga lahir banyak pesantren yang mengkader ulama – ulama hebat setelahnya, sebut saja Kiai Wahid Hasyim yang pernah menjabat menjadi mentri agama pertama di Indonesia kala itu.
Oleh karena itu eksistensi pesantren menjadi basis utama dalam melahirkan dai – dai yang progresif, karena semua komponen untuk memahami syariat telah terbangun kokoh di dalamnya, fenomena dai yang tidak sejalan dengan ruh dakwah yang benar, sejatinya lahir dari keserampangan di dalam proses pencapaian keilmuan dalam memahami syariat islam yang seharusnya di lalui secara benar sesuai dengan prosedurnya.