RASIONAL.CO.ID, KHAZANAH – Standar Ketinggian Hilal Kurang Dari Tujuh Derajat di Batavia: Polemik Sayyid Usman Betawi, Syaikh Muhammad Mansur Jembatan Lima, dan Syaikh Ahmad Marzuki Muara
Umat Islam di dunia, setiap memasuki bulan Ramadan dan Syawal –boleh jadi juga bulan Zulhijjah- selalu disibukkan dengan persoalan terkait hilal (awal bulan) yang menandakan sudah masuknya sebuah bulan hijriyah. Hal ini sangat penting sebab berkaitan dengan ibadah tahunan. Satu diantara persoalan terkait hilal adalah standar yang harus terpenuhi supaya keberadaannya di saat melakukan peneropongan dan pengekeran dianggap berlaku.
Dalam kasus di Batavia zaman dahulu, standar dan kriteria hilal yang berlaku adalah apabila mencapai tujuh derajat. Pernyataan ini meniscayakan bahwa kurang dari standar tersebut hilal tidak mungkin terlihat. Adalah menarik bahwa polemik ini berlangsung antara tiga ulama wilayah tersebut: Sayyid Usman Betawi, Syaikh Muhammad Mansur Jembatan Lima dan Syaikh Ahmad Marzuki Muara, dengan penjelasan bahwa ulama pertama yang disebutkan merupakan guru bagi kedua ulama setelahnya. Namun, sangat disayangkan bantahan muridnya, Syaikh Muhammad Mansur ditulis setelah meninggal gurunya. Sementara peran Syaikh Ahmad Marzuki, murid lainnya Sayyid Usman adalah sebagai pembela pendapat gurunya.
Siapakah ulama yang pertama sekali menetapkan standar minimal dengan tujuh derajat di Batavia, saya sendiri belum dapat memastikan. Namun, dari beberapa kitab tentang ilmu falak disebutkan bahwa Sayyid Usman Betawi sebagai tokoh ulama yang memberlakukan standar tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam dua karyanya Keker Bulan Buat Memulakan Puasa dan Dibuat Lebaran dan Iqazh al-Niyam fima Yata’allaq bi al-Ahillah wa al-Shiyam.
Dalam kitab pertama secara jelas penulisnya menyatakan bahwa pada malam ketiga puluh, apabila bulan tidak dapat terlihat karena ketinggian kurang dari tujuh derajat, maka hitungan bulan baru akan dimulai setelah menggenapkan bulan sebelumnya menjadi tiga puluh hari. Teks yang dapat ditampilkan adalah: adapun jikalau di dalam itungan orang-orang Islam yang mengerti jalan bulan dan matahari, bahwasanya di malam tiga puluh daripada suatu bulan tiada boleh dapat dilihat bulan baru di malam itu, sebab yaitu kurang dari tujuh derajat. Maka di dalam ini hal, barulah boleh ditentukan oleh hukum agama dari jauh-jauh hari bahwa bulan yang lagi jalan itu mesti genap tiga puluh hari dan boleh ditentukan bahwa sehari bulan baru itu yaitulah di hari yang sesudahnya genap tiga puluh hari itu.
Hal ini dikuatkan oleh Syaikh Muhammad Mansur bahwa gurunya tersebut menyatakan pendapat ini dalam karyanya yang berjudul Iqazh al-Niyam fima Yata’allaq bi al-Ahillah wa al-Shiyam yang menukil sebuah kitab berjudul Taqrib al-Istidlal. Bahkan, ia juga mengatakan bahwa melalui informasi saudaranya, Syaikh Muhammad Mahbub ketika bertanya kepada Sayyid Usman tentang ukuran kemungkinan bulan terlihat bahwa pendapat yang mengatakan standar kurang dari tujuh derajat tidak terlihat di Batavia sebelum pernyataan ulama habaib tersebut tidak diketahui atau kemungkinan diketahui, tetapi tidak diamalkan. Alasan yang disebutkan menarik bahwa pada tahun 1299 H/ 1882 M, Mahkamah Syar’iyah di Batavia menerima saksi yang melihat bulan dengan standar dua setengah derajat. Dengan pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa Sayyid Usman adalah ulama pertama yang memberlakukan standar minimal tujuh derajat.
Pendapat Sayyid Usman di atas dipersoalkan muridnya yang bernama lengkap Syaikh Muhammad Mansur bin Abdul Hamid bin Muhammad al-Damiri al-Batawi yang berada di Jembatan Lima di Batavia. Hubungan guru dan murid antara keduanya terlihat dari tulisannya ketika menyebutkan Sayyid Usman dengan “guru saya.” Untuk membantah pendapat gurunya, ia menulis sebuah kitab berjudul Mizan al-I’tidal fi Takmilah Jawab al-Su’al fi Mas’alah Ikhtilaf al-Mathali’ wa Ru’yah al-Hilal (sebuah timbangan lurus dalam melengkapi soal-jawab persoalan perbedaan matlak dan rukyah hilal). Dalam pembukaan, penulisnya menyebutkan alasan penulisan kitab ini, sebagaimana yang termaktub dalam teks berikut:
واعلم يا أخى, أنى كنت فى أول أمر هذه المسئلة عدم إمكان الرؤية فيما دون سبع درج بمن يقدم رجلا ويؤخر أخرى, لعلمى بأن جل أهل الهيئة المتأخرين كالشيخ يوسف الجودرى صاحب كشوفات الأدلة فى معرفة الخسوف والكسوف والأهلة, والشيخ احمد موسى الزرقانى صاحب الزيج الملكى ومدرس علم الفلك بالأزهر الشريف والجامع الأحمدى, واالشيخ مصطفى الفلكى صاحب المنهج المألوف فى معرفة الخسوف والكسوف وخلاصة الأقوال فى معرفة الوقت والهلال, والشيخ محمود أفندى محرر نتائج الحكومة المصرية, قالوا: بإمكان الرؤية فى ذلك. ولكن المرحوم شيخى وأستاذى السيد عثمان أقرفى كتبه عدم إمكانها فى ذلك, تقليدا لماذكره الشيخ على بن قاضى فى تقريب الاستدلال. فلم أزل أراجع النظر فى ذلك حتى جاءنى رجلان من أهل تنقران, أحدهما من تلامذة مدرستى. وأخبرانى بأنهما رأيا هلال ذى الحجة سنة 1350 ليلة الخميس بعد غروب الشمس وكان هلاله خمس درج. فتيقنت ان خبرهما صحيح وؤيتهما صادقة, وان القول بإمكان الرؤية فيما دون سبع درج حق ومصيب. وتأولت ماقاله المرحوم من عدم إمكانها فى ذلك على ماكان فى الزمان الأول. لأن أمر الهلال يتغير حاله بتقادم العهد ومرور الزمان كما سيأتى بيانه وإيضاحه. فسألونى عن حكم تلك الرؤية فأجبتهم بما ذكرته فى جواب السؤال عن مسئلة الهلال.
(Ketahuillah bahwa dahulu saya dalam persoalan tidak ada kemungkian terlihat bulan kurang dari tujuh derajat, termasuk yang antara menerima atau menolak. Sebab, sebagian ulama astronomis seperti Syaikh Yusuf al-Judari pengarang Kusyufat al-Adillah fi Ma’rifah al-Khusuf wa al-Kusuf wa al-Ahillah, Syaikh Ahmad Musa al-Zarqani pengarang Al-Zain al-Malaki dan pengajar ilmu falak di Al-Azhar dan Mesjid Al-Ahmadi, Syaikh Mustafa al-Falaki pengarang Al-Manhaj fi Ma’rifah al-Khusuf wa al-Kusuf wa Khulashah al-Aqwal fi Ma’rifah al-Waqt wa al-Hilal, dan Syaikh Mahmud Afandi penyusun Nata’ij al-Hukumah al-Mishriyah mengatakan dengan imkan ru’yah (kemungkinan terlihat) pada yang demikian. Tetapi guru saya, Sayyid Usman menyebutkan dalam beberapa karyanya tidak dapat kemungkinan terlihat dengan mengikuti pendapat Syaikh Ali bin Qadi dalam Taqrib al-Istidlal. Saya masih menyelidiki pendapat tersebut sampai datang kepada saya dua orang dari negeri Tangerang, dimana salah satunya adalah murid saya. Mereka berdua memberikan informasi bahwa bulan Zulhijjah 1350 H terlihat malam Kamis setelah terbenam matahari dengan ketinggian lima derajat. Saya meyaini bahwa informasi tersebut benar dan pendapat yang mengatakan kemungkinan terlihat kurang dari tujuh derajat tidak salah. Saya menafsirkan pendapat Sayyid Usman tentang itu berlaku untuk masa yang dahulu. Sebab, persoalan bulan selalu berubah dengan bergantinya waktu sebagaimana yang akan dijelaskan berikut. Mereka bertanya kepada saya tentang hukum tersebut sehingga saya menjawabnya dalam kitab Jawab al-Sual ‘an Mas’alah al-Hilal).
Pertanyaan tersebut dijawab oleh Syaikh Muhammad Mansur bahwa melihat bulan dengan standar interval antara 4 sampai 6 derajat sesuatu yang semestinya. Sebab, sudah pernah terlihat pada awal bulan Zulhijjah 1350 H malam Kamis, yang dilihat oleh penduduk Tangerang, Serang dan Semarang. Menurut ahli hisab bahwa bulan tersebut berada di bawah tujuh derajat. Ia juga menyebutkan bahwa pada tahun berikutnya –tepatnya 1350 H juga- datang kepadanya dua orang dari penduduk Tangerang yang menyatakan bahwa keduanya melihat bulan Syawal dengan enam derajat setelah terbenam matahari.