RASIONAL.CO.ID, Sumatera Utara – Praktik penjara pribadi atau kerangkeng ternyata masih ada di zaman yang serba digital ini.
Kerangkeng ini ditemukan bersamaan dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilakukan beberapa waktu lalu di kediaman Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin-Angin, di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Kerangkeng manusia ini pertama kali diangkat oleh organisasi buruh migran, Migrant Care. Organisasi ini melaporkannya ke Komnas HAM pada Senin (24/1/2022).
Berikut 7 Fakta terkait Kerangkeng milik bupati Langkat nonaktif.
1- Sudah ada sejak tahun 2012.
Dalih pembuatan kerangkeng ini dimaksudkan untuk rehabilitasi para pecandu narkoba yang sudah akut dan sulit disembuhkan.
Pada tahun 2017, Badan Narkotika Nasional Kabupaten Langkat sudah sempat berkoordinasi dengan Terbit Rencana Perangin-angin, intinya adalah jika memang dijadikan tempat rehabilitasi, maka harus mengurus perizinannya.
Namun sampai penemuan ini terjadi, belum ada izin yang diurus oleh Terbit.
2- Ada 27 Orang, Sebagian di antar orang tuanya.
Dalam dua sel yang berukuran masing-masing 6×6 meter ini terdapat 27 orang di dalamnya. Semuanya adalah laki-laki, dan sebagiannya justru ada di situ karena diantar oleh orang tuanya sendiri. Kemudian para orang tua menandatangani surat pernyataan terkait pembinaan anaknya.

Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Hadi Wahyudi mengatakan, “Mereka datang ke situ diantarkan oleh orangtuanya dengan menandatangani surat pernyataan. Isinya antara lain, direhabilitasi, dibina dan dididik selama 1,5 tahun. Mereka umumnya adalah warga sekitar lokasi,” kata Hadi, Senin (24/1).
3- Dipekerjakan secara paksa.
Perjanjian untuk direhabilitasi dan dibina ternyata hanya sebagai kedok semata. Nyatanya mereka yang ada di dalam kerangkeng disuruh untuk bekerja di kebun.
“Kerangkeng penjara itu digunakan untuk menampung pekerja mereka setelah mereka bekerja. Dijadikan kerangkeng untuk para pekerja sawit di ladangnya,” kata Ketua Migrant Care, Anis Hidayah, Senin (24/1).
4- Mengalami penyiksaan.
Selain dipekerjakan untuk bekerja, kemungkinan besar mereka dipaksa bekerja. Terlihat dari beberapa orang yang mengalami luka lebam di tubuhnya.
“Mereka mengalami penyiksaan, dipukul, lebam, dan luka,” kata Anis di kantor Komnas HAM Jakarta.
5- Tidak digaji dan diberi makan 2 kali sehari.
Tidak hanya mengalami penyiksaan dalam bekerja, para buruh yang ada di kerangkeng ini juga tidak menerima gaji selama mereka ada di situ.
Diperparahnya lagi Anis Hidayah mengatakan mereka juga hanya mendapatkan makan sebanyak 2 kali sehari.
6- Tidak boleh kemana-mana.
Para buruh ini, ditutup aksesnya untuk tidak boleh pergi kemanapun. Anis menjelaskan bahwa kegiatan mereka adalah pagi pergi ke ladang untuk bekerja sedikitnya 10 jam, kemudian menjelang Maghrib dimasukkan kembali ke kerangkeng.
7- Memutus akses komunikasi dengan dunia luar.
Selain tidak boleh kemana-mana, para buruh ini juga ditutup akses komunikasinya dengan dunia luar, termasuk dengan orang tuanya yang mengantarkannya.
Migrant Care menilai bahwa situasi ini jelas bertentangan dengan hak asasi manusia, prinsip-prinsip pekerjaan layak yang berbasis HAM, dan prinsip antipenyiksaan.
Simak juga: RAS FM Jakarta